oleh Yunus Setyo
Nama saya Yunus Setyo. Umur saya 50 tahun, saya berasal dari Bogor, orang tua dari Minangkabau, Sumatera Barat. Sejarah hidup saya istri sudah meninggal ketika anak saya satu-satunya baru berusia 10 bulan. Istri saya meninggal di tahun 2007 karena diserang pada malam hari oleh sebuah lembaga bernama FPI. Kami diserang karena saya dulu adalah anggota gerakan radikalisme Islam. Saya ketua pemuda intifadah Jamaah Islamiyyah di Indonesia. Istri saya dibunuh karena kami membelot dari organisasi. Saya sudah tidak satu ideologi dengan mereka. Walaupun mereka mencoba menguasai Indonesia, mereka mencoba mengubahnya menjadi Negara Islam Indonesia (NII). Kita harus patuh kepada mereka, dengan hukum mereka. Jika mereka berkuasa, itu lebih berbahaya, hukum mereka lebih berat. Mencuri akan dihukum tangan. Jika ketahuan berzinah dihukum potong penis. Lebih mengerikan lagi akan dihukum pancung di negara ini. Saya tidak sepaham lagi dengan mereka, dan saya keluar, bahkan walau kemudian harus mengorbankan istri saya sendiri.
Istri saya dibunuh di depan mata saya, dan itu pengalaman yang terpahit bagi saya. Ketika saya lapor ke polisi, mulai dari Polsek, Polres hingga Polda, mereka mengatakan tidak ada tindak pidana. Semenjak itu saya benci kepolisian dan pemerintahan, tidak ada keadilan bagi kami yang tertindas, yang tidak punya duit dan tidak mampu. Tapi di saat itu saya ingin balas dendam, tapi saya seorang diri dan tidak mampu membalas. Ketika bertemu Bethlehem, dendam itu masih membara.
Saya menjadi tunawisma sejak bulan Januari 2020, ketika kehancuran usaha kerupuk saya. Saya terusir dari desa karena ketika saya kos di sana, saya tidak mengetahui bahwa ada seseorang yang tertarik dengan anak saya. Nama anak saya Y, usianya sekarang 13 tahun. Pada malam minggu, saya menegur anak saya, dan lelaki itu tidak terima. Dia mengambil genteng dan hendak memukul saya. Saya tangkis genteng hingga pecah. Dan saya sempat pukul laki-laki itu hingga hampir jatuh dari atas kosan, tapi saya pegang. Ketika lepas dia lari dan membawa warga desa. Saya diancam dengan samurai dan diusir.
Sejak itu saya dan kawan saya yang membela saya terpisah dengan anak saya. Anak saya sekarang bersama dengan keluarga laki-laki itu. Laki-laki tersebut melarang saya berjumpa dengan anak saya. Saya hanya bisa bertemu dengan Yolanda dari belakang, mengintip dari jauh, diam-diam. Saya juga meminta tolong kepada teman untuk mengetahui kabarnya. Saya sudah melapor pada polisi dan KPAI tapi tidak ada tanggapan. Seperti tidak ada pelanggaran, padahal itu pelanggaran HAM anak di bawah umur. Saya hidup di jalanan setelah terpisah dengan anak, dan mencari kerja.
Pemerintah tidak mungkin membantu kita. Pemerintah tidak membantu apapun, tidak memberi makan, atau memberi uang. Satpol PP atau Dinas Sosial tidak melakukan apapun. Yang ada mereka hanya mengusir, menganggap kami sebagai borok dalam masyarakat. Saya punya pengalaman di Tegalrejo ketika hanya menumpang tidur di teras suatu gereja. Saya meminta izin kepada RT, tapi saya disidang sampai jam 10 malam, oleh RW dan bahkan sampai Babinsa. KTP saya diperiksa dan kami berdebat. Padahal saya hanya ingin istirahat sebentar. Tapi saya dilarang tidur. Semenjak itu saya semakin antipati kepada kepolisian dan pemerintah. Padahal saya meminta izin, saya sudah lelah dan jam telah larut malam.
Saya terus mencari tempat untuk bernaung, hingga saya bertemu dengan Bethlehem. Saya datang ke Bethlehem dan menerima brosur. Saya langsung mendukung kegiatan Bethlehem, karena banyak program yang cocok dengan kehidupan tunawisma lainnya, khususnya saya sendiri. Saya mencoba untuk bertahan di Bethlehem. Saya tidak hanya menemukan rumah, tapi juga keluarga. Walau saya jauh dari duit, saya bisa tertawa, menangis bersama, bisa merasakan satu sama lain. Kami tidak mendapatkannya dari luar sana. Dari pemerintah. Kami sudah mencoba banyak panti asuhan yang hanya mengeksploitasi para penghuni atau tunawisma. Keluarga saya juga para fundamentalis yang sudah tidak peduli lagi dengan saya.
Ketika bertemu dengan Bethlehem, saya menemukan bahwa semua orang punya hak yang sama, bahkan walau tanpa pemerintah. Itu yang membedakan anarkisme dengan fundamentalisme. Saya sangat setuju dengan pendudukan. Karena kami butuh tempat tinggal yang layak. Kami butuh rumah. Karena kami rasa untuk mendapatkan rumah sangat sulit, dengan izin atau formil, kami tidak pernah dikasih dan diizinkan. Kami dianggap borok di mata masyarakat, oleh orang-orang borjuis, orang kaya. Mereka tidak memandang kami, tidak peduli dengan kami. Walau mereka punya makan, mereka membiarkan makanan itu membusuk daripada memberikan pada kami.
Saya sangat setuju dengan pendudukan untuk menggalang solidaritas bagi tunawisma untuk mendapatkan tempat yang layak, untuk mendapatkan makan, dan untuk berkarya bagi kami maupun sesama. Saya sangat mendukung pendudukan dan mari galang solidaritas untuk pendudukan. Saya berharap Bethlehem tidak mati di tengah jalan, dan lebih banyak orang yang terlibat di Bethlehem. Kami berpesan bagi kalian yang duduk minum kopi dan menikmati pisang goreng dengan santainya, mari singsingkan lengan, untuk membangun solidaritas bagi kaum papa, bagi kaum yang tidak punya rumah, mari bangkit. Kita memerangi kemiskinan dan pemerintahan yang tidak beradab ini.